MENCARI KEPEDULIAN TOLERANSI:
AFIRMASI TAPAL BATAS ANTARA BERCANDA DAN BULLYING
Pada tahun 2024 ini, SMPN 2 Buduran telah melakukan deklarasi sebagai sekolah toleransi. Hal ini sebagai bentuk respon terhadap realitas yaitu kita (baca : Indonesia) adalah masyarakat multikultur. Keragaman bukan hanya telah ada di belakang, namun ia juga di hadapan dan selalu mengelilingi kita. Keragaman tersebut perlu dikelola agar menjadi sesuatu yang produktif dalam kehidupan sosial kita, dan sekolah adalah miniatur masyarakat.
Sebagai contoh shock culture terkait bahasa. Sudah sejak lama pada interaksi sosial, bercanda sering di perspektifkan sebagai salah satu upaya dalam membangun hubungan maupun menciptakan suasana yang menyenangkan. Tetapi, ada kalanya tidak semua bentuk bercanda dapat diterima, bahkan sering kali garis batas antara bercanda yang sehat dan bullying menjadi samar. Afirmasi, sebagai praktik komunikasi positif dan membangun, dapat berperan penting dalam mendefinisikan dan membedakan kedua konsep di atas. Artikel ini akan membahas bagaimana afirmasi dapat membantu individu mengelola dan akhirnya memahami batasan antara bercanda dan bullying, sekaligus dampaknya terhadap kesehatan mental maupun hubungan sosial.
Pertama, agar mempunyai titik berangkat yang sama, kita perlu untuk membahas definisi. Afirmasi, merupakan pernyataan positif yang berperan penting dalam membangun kepercayaan diri dan mendorong sikap positif. Dalam bidang komunikasi, afirmasi efektif untuk menguatkan penghargaan diri serta mempererat hubungan interpersonal. Selain itu, afirmasi dapat membantu menciptakan suasana yang kondusif untuk saling mendukung dan menghormati satu sama lain. Bercanda, merupakan interaksi sosial yang mengandung unsur humor untuk menghibur. Namun, bercanda yang tidak melibatkan sensitifitas atau tidak mempertimbangkan perasaan orang lain dapat dengan mudah bertranformasi menjadi bullying. Bullying, merupakan tindakan agresi berulang yang bertujuan melukai atau menurunkan harga diri individu, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam tulisan ini, penulis memberikan batasan pada bullying verbal.
Kedua, harus ada indikator dalam mengukur tapal batas antara bercanda dan bullying. Kesimpulan dalam observasi penulis di lapangan, intensi dan respon penerima adalah dua hal yang perlu di perhatikan dalam mengecek apakah ada bullying di dalam sebuah hubungan atau interaksi sosial. Intensi, dalam konteks interaksi sosial, Bercanda dilakukan dengan tujuan positif, yaitu membangun suasana gembira dan penuh tawa, sedangkan bullying merupakan tindakan negatif yang bertujuan untuk mendominasi, mengintimidasi, atau merendahkan individu. Oleh karena itu, penting dalam memahami konteks dan motivasi di balik sebuah tindakan sehingga kita bisa mengidentifikasi dan mengatasi perilaku bullying sejak dini. Lebih lanjut, implikasi buruk bullying luar biasa terhadap kesehatan mental, individu dapat mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan stres pascatrauma. Hal-hal tersebut nantinya akan berimplikasi pada penurunan prestasi akademis dan hubungan sosial individu. Respon Penerima, Dalam komunikasi yang sehat, perlu adanya kesadaran dari subjek (baca : manusia) untuk melihat dari sudut pandang orang pertama (bagaimana rasanya menjadi dia, orang itu, pihak penerima). Oleh karena itu, respons dari pihak penerima adalah indikator kunci dalam sebuah interaksi sosial. Dalam bercanda yang sehat, semua pihak merasa nyaman dan terlibat dalam tawa. tetapi, dalam situasi bullying, penerima sering kali merasa tertekan, tersakiti, atau bahkan terisolasi. Di saat individu merasa tersakiti oleh lelucon yang disampaikan, sangat mungkin menjadi tanda bahwa batasan atau toleransi telah dilanggar.
“Kita makhluk sosial, kita gak mungkin merasa berharga pada diri kita sendiri tanpa melihat dimata orang lain” jawab Fristian Hadinata ketika memberikan pernyataan penutup dalam video tentang konsumerisme – kenapa manusia membeli barang yang lebih dari sekedar nilai tukar dan nilai guna- di channel youtube pinterpolitik. Sepakat dengan pernyataan tersebut, penulis memahami bahwa hal yang wajar jika manusia ingin menunjukkan eksistensinya pada orang lain, tetapi yang penting jangan sampai keterlaluan (menonjol secara berlebihan, egois, superior). Dalam tulisan ini, pembahasan akan berfokus pada peran afirmasi sebagai edukasi, himbauan bagi individu agar berani untuk tidak menormalisasi ketika individu berada dalam sebuah interaksi sosial yang tidak sehat. Kegiatan ini kami bingkai dalam pembiasaan penguatan karakter Sekolah Ramah Anak.
Sebagai bagian dari SMPN 2 Buduran, kami berkomitmen tinggi terhadap pengembangan karakter siswa yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Kami percaya pada pentingnya iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta pembinaan akhlak mulia, yang menjadi dasar cita-cita kami dalam membentuk individu yang unggul dan penuh kasih sayang. Keunggulan ini kami wujudkan melalui program pembiasaan penguatan karakter yang terintegrasi, seperti Sekolah Ramah Anak, Adiwiyata, dan Penegak Disiplin. Kegiatan ini kami laksanakan secara konsisten setiap hari Kamis selama 80 menit, menegaskan komitmen kami dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung dan disiplin.
Dalam kegiatan penguatan karakter (Sekolah Ramah Anak) kami memfokuskan untuk 1) Mengedukasi siswa tentang empati. mengedukasi individu tentang pentingnya empati dalam berinteraksi. Dengan membangun kesadaran akan perasaan orang lain, individu dapat lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata dan tindakan. Misalnya, mengajak seseorang untuk merasakan bagaimana perasaan orang yang dijadikan lelucon dapat membantu menghindari situasi bullying. 2) Membangun rasa percaya diri. Dalam konteks kelompok, kehadiran penguatan karakter ini dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri anggota kelompok. Ketika individu merasa dihargai dan diterima, mereka cenderung lebih mampu memberikan afirmasi atau mengekspresikan ketidaknyamanan mereka terhadap lelucon yang berlebihan. Selain itu, dapat menciptakan suasana yang lebih positif dan inklusif. 3) Menyediakan ruang untuk diskusi. Penguatan karkater (sekolah ramah anak) juga menciptakan ruang untuk diskusi terbuka mengenai batasan bercanda. Dalam situasi di mana humor dapat menjadi sensitif, keterbukaan dapat membantu individu memahami perspektif satu sama lain. Dengan demikian, kegiatan ini dapat berfungsi sebagai alat untuk meredakan ketegangan dan mencari solusi yang saling menguntungkan.
Sebelumnya pun, kami membekali individu dengan memberikan sosialisasi secara klasikal bagaimana ketika berada dalam situasi bercanda yang menyakitkan. 1) Kenali Tanda- Tanda. Kami menekankan penting dalam mengenali tanda-tanda ketika bercanda sudah melampaui batas. Jika individu (diri sendiri ataupun orang lain) terlihat tidak nyaman atau tersakiti, itu adalah sinyal bahwa lelucon tersebut mungkin sudah terlalu jauh. Dalam situasi seperti itu, kami edukasi indivdu untuk berani memberikan afirmasi atau mengekspresikan kekhawatirannya terhadap lawan bicara maupun dalam forum terkait indikasi bullying atau berbicara “tolong jangan berlebihan”. 2) Berbicara Secara Terbuka. Ketika bercanda menjadi menyakitkan, kami menekankan penting agar individu berbicara secara terbuka bahwa ia tersakiti oleh ucapan orang lain. Afirmasi dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan dengan cara yang konstruktif atau membangun. Misalnya, “Saya merasa tidak nyaman ketika Anda mengatakan itu,” dapat menjadi langkah pertama untuk mengatasi masalah tersebut.
Sebagai Kesimpulan dari tulisan ini, Jurgen Habermas mempunyai istilah hubungan bebas sederajat antara dua subjek. Artinya, Tindakan komunikatif sangat mengutamakan pemahaman bersama (common understanding) dimana setiap individu atau pihak yang terlibat memiliki posisi yang setara (penghargaan terhadap rasionalitas dan kebebasan individu) dengan menghindari ego-ego individu.
Afirmasi memainkan peran penting dalam menyadarkan individu lain maupun membangun batas yang jelas antara bercanda yang sehat dan bullying. Dengan meningkatkan empati, membangun rasa percaya diri, dan menciptakan ruang untuk diskusi terbuka, afirmasi dapat membantu individu memahami dampak dari kata-kata atau Tindakan mereka. Dalam dunia yang semakin kompleks, penting untuk menghargai perasaan orang lain dan menjaga hubungan sosial yang positif. Melalui pendekatan yang berbasis afirmasi, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung, di mana setiap individu merasa dihargai dan diakui.
Akhir kata, we are all always somewhere in between (Richard Rorty)
Article by :
Bayu Aji, S.Psi